GAYA
KEPEMIMPINAN SOEHARTO
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara
tentang pemimpin dan kepemimpinan masa depan erat kaitannya dengan kualitas
sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini. Bangsa ini masih membutuhkan
pemimpin yang kuat di berbagai sektor kehidupan masyarakat, pemimpin yang
berwawasan kebangsaaan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang demikian
kompleks. Ini selaras dengan kerangka ideal normatif sistem kepemimpinan
nasional sebagai sebuah sistem dalam arti statik maupun arti dinamik. Dalam
arti sistem yang bersifat statik, sistem kepemimpinan nasional adalah
keseluruhan komponen bangsa secara hierarkial (state leadership, political and
entrepreneural leadership and societal leadership) maupun pada tatanan komponen
bangsa secara horizontal dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan. Sementara itu, dalam sistem yang bersifat dinamik, sistem
kepemimpinan nasional adalah keseluruhan aktivitas kepemimpinan yang berporos
dari dan komponen proses transformasi (interaksi moral, etika dan gaya
kepemimpinan) dan akhirnya keluar dalam bentuk orientasi kepemimpinan yang
berdimensi aman, damai, adil dan sejahtera.
Saat ini,
kita butuh pemimpin yang berorientasi kepada kepentingan, kemajuan, dan kejayaan
bangsa dan negara, bukan kepada kepentingan pribadi/kelompok, bukan untuk
melanggengkan kekuasaan kelompok, dan bukan pula kepemimpinan yang membiarkan
hidupnya budaya anarkhisme, budaya kekerasan, dan budaya korupsi, kolusi dan
nepotisme. Kita butuh, pemimpin berwawasan kebangsaan, pemimpin Pancasilais,
setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD Negara RI Tahun 1945,
serta memahami karakter dan kultur bangsa Indonesia.
Pemimpin dan
kepemimpinan masa depan yang integratif harus memiliki pola pikir, pola sikap
dan pola tindak sebagai negarawan. Makna dari negarawan adalah seorang pemimpin
yang diharapkan mampu mengubah kondisi saat ini melalui proses untuk
menciptakan kondisi yang diharapkan dalam rangka mencapai tujuan nasional dan
mewujudkan cita-cita nasional. Pemimpin akan dapat melaksanakan fungsi
kepemimpinan-nya dengan efektif, apabila ia diterima, dipercaya, didukung serta
dapat diandalkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang masalah di atas, masalah dalam makalah ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana
gaya kepemimpinan masa Orde Baru (rezim Soeharto) ?
2. Keberhasilan
apa yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan Soeharto ?
3. Kegagalan
apa yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan Soeharto ?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran gaya kepemimpinan masa Orde Baru (rezim
Soeharto), keberhasilan dan kegagalan yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan
Soeharto dan untuk memenuhi tugas mata kuliah teori organisasi umum dengan sub
bab kepemimpinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gaya Kepemimpinan Masa Orde Baru (Rezim Soeharto)
Biografi Singkat H.M. SOEHARTO
Jenderal Besar Purnawirawan Haji
Muhammad Soeharto, (lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni, 1921 –
Jakarta, 27 Januari 2008) adalah Presiden Indonesia yang kedua, menggantikan
Soekarno. Setelah dirawat selama sekitar 24 hari di rumah sakit, ia meninggal
akibat kegagalan multifungsi organ di RS Pusat Pertamina, Jakarta Selatan pukul
13.10 WIB. Secara informal, "Pak Harto" juga dipakai untuk
menyapanya.
Ia mulai menjabat sejak keluarnya
Supersemar pada tanggal 12 Maret 1967 sebagai Penjabat Presiden, dan setahun
kemudian dilantik sebagai Presiden pada tanggal 27 Maret 1968 oleh MPRS.
Soeharto dipilih kembali oleh MPR
pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa
jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun
tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR
oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya
sebagai presiden.
Soeharto menikah dengan Siti
Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak, yaitu Siti Hardijanti
Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi
(Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih
(Mamiek).[1][1]
v Gaya
Kepemimpinan Soeharto
Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966
kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan
pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan
menonjol dari Presiden Soeharto adalah kesederhanaan, keberanian dan kemampuan
dalam mengambil inisiatif dan keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental
yang sanggup menghadapi bahaya serta konsisten dengan segala keputusan yang
ditetapkan.
Gaya
Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan
Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang
mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak
positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya
langkah-langkah penyesuaian.
Tahun-tahun pemerintahan Suharto
diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di
dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk
berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan
negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan
mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah
partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah
besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada
militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara
kepada satu partai penguasa Golkar.[2][2]
Bila melihat dari penjelasan singkat
di atas maka jelas sekali terlihat bahwa mantan Presiden Soeharto memiliki gaya
kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan sentralistis. Sebenarnya gaya
kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh Almarhum merupakan suatu gaya
kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden
Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan
situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia
masih sangat rendah. Namun, dirasa pada awal tahun 1980-an dirasa cara memimpin
Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat, karena keadaan yang terjadi
di Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham
tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan
Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan
kekuasaannya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang
melawannya.
Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah
Otoriter/militeristik. Seorang pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap
yang menonjolkan “keakuannya”, antara lain dengan ciri-ciri :
1.
Kecendurangan
memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi,
seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat
mereka.
2.
Pengutamaan
orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan
pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
3.
Pengabaian
peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
Sesuai dengan masalah dan tujuan yang penulis angkat, pengukuran gaya kepemimpinan Presiden Soeharto di sini diukur dari
aspek-aspek: (1) Status kepemimpinan dan kekuasaan; (2) Orientasi pada
hubungan; (3) Orientasi pada tugas; (4) Cara mempengaruhi orang lain, dan (5)
Kepribadian. Maka hasil analisis menunjukkan
kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut.
v Status kepemimpinan dan kekuasaan
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang
Kepala Negara dibanding sebagai pemimpinan organisasi lainnya. Di media ia hampir tidak pernah ditampilkan sebagai seorang individu atau
pribadi[3][3]. Kecenderungan
ini secara jelas terlihat dari frekuensi kemunculan berita yang menunjukkan
status Presiden Soeharto ketika menyampaikan pesan-pesan politik adalah sebagai
Kepala Negara. Posisi
berikutnya menunjukkan status Presiden Soeharto sebagai Kepala Pemerintahan, pemimpin
dan juga sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar.
Presiden Soeharto cenderung digambarkan sebagai seorang pemimpin yang
menjadi pusat kekuasaan pemerintah dan negara. Media cenderung menggambarkan
Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang lebih suka berada di lokasi pusat kekuasaan, di Jakarta sebagai
ibukota negara. Meskipun ia sering
melakukan perjalanan dinas dan pribadi/keluarga, baik di dalam maupun di
luar negeri, media lebih sering menyajikan liputan tentang aktivitas komunikasi
yang dilakukan Presiden Soeharto di Jakarta.
Penggambaran
media yang demikian diperkuat dengan penggambaran bahwa ketika di Jakarta
Presiden Soeharto lebih sering berada di Istana Negara atau Istana Merdeka
dibanding tempat-tempat lainnya yang dapat berfungsi sebagai simbol kekuasaan
dirinya sebagai pemimpin tertinggi dalam organisasi pemerintahan, negara, dan organisasi-organisasi lainnya. Bahkan, ia
juga digambarkan sebagai pemimpin yang lebih sering berada di Istana dibanding
di Bina Graha, kantor atau tempat ia
biasanya bekerja.
v Orientasi pada hubungan
Dilihat dari
orientasinya pada pemeliharaan hubungan, Presiden Soeharto cenderung ditampilkan
sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert (1961)
disebut “exploitative-authoritative”,
kurang demokratis. Hasil analisis menunjukkan, dari periode ke periode berita
yang beredar menunjukkan isi pesan Presiden Soeharto berfungsi menghibur,
memberikan dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik konstruktif
sebagaimana umumnya pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif kecil.
Kecuali pada
periode awal kekuasaannya, Presiden Soeharto dalam berita suratkabar juga
cenderung ditampilkan sebagai pemimpin yang mengutamakan hubungan dengan
lembaga pemerintah yang dipimpinnya dibanding dengan lembaga-lembaga politik
lainnya. Beliau lebih sering menyampaikan pesan-pesan politik kepada para
pejabat pemerintah, seperti menteri, gubernur, bupati, walikota, dan pegawai
negeri, dibanding kepada ketua dan anggota DPR / MPR, ketua MA, Hakim Agung,
pimpinan dan anggota ABRI, ketua dan anggota Parpol, serta pimpinan dan
wartawan media massa. Proporsi berita yang menunjukkan Presiden Soeharto menyampaikan
pesan-pesan kepada masyarakat (termasuk para tokoh dan kalangan perguruan
tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga eksekutif lebih besar
dibanding proporsi berita yang menunjukkan ia menyampaikan pesan-pesan kepada
pihak lainnya.
Presiden Soeharto
juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih reaktif
dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap
pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri.
Pesan-pesan verbal sebagaimana tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang
disampaikan Presiden Soeharto kepada berbagai pihak lebih banyak berisi
tanggapan dirinya terhadap pertanyaan, opini, sikap, dan perilaku para pejabat
dan masyarakat yang dipimpinnya
Selain itu
juga Presiden Soeharto digambarkan
sebagai pemimpin yang memiliki fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan
fungsi kepemimpinannya. Isi pesan-pesan
politiknya dari periode ke periode mengalami pasang-surut. Pada periode awal
kepemimpinannya, yakni selama masa
jabatan pertama 1968-1973, dominasi gagasan-gagasan sendiri lebih
menonjol dalam pesan-pesan politik Presiden Soeharto. Namun, pada periode
pengamalan dan pematangan kepemimpinan, yakni selama masa jabatan kedua sampai
kelima 1973-1993, dominasi gagasan-gagasan sendiri semakin menurun, dan
kecenderungan ini diimbangi dengan meningkatnya tanggapan atau respon yang ia
berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain. Sedangkan
pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan keenam
dan ketujuh 1993-1998, isi pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin
didominasi oleh tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan,
dan tindakan-tindakan orang lain.
v Orientasi pada tugas
Potret
Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih
sering memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional.
Dalam setiap periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang memberi perhatian
khusus pada lingkup pembangunan lokal saja atau regional saja. Dilihat dari isi
pesan-pesan politiknya, pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh
Presiden Soeharto adalah pembangunan dalam lingkup nasional. Pembangunan lokal
Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan pembangunan regional Daerah Tingkat
I Propinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin Orde Baru itu.
Surat kabar
juga menggambarkan Presiden Soeharto sebagai
pemimpin yang memberikan perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan
perkotaan tanpa membedakan diantara keduanya. Presiden Soeharto jarang
membicarakan pembangunan yang orientasinya hanya daerah perkotaan atau hanya
daerah perdesaan. Dalam media massa ia lebih sering ditampilkan sebagai
pemimpin yang membicarakan tentang pembangunan secara keseluruhan, baik daerah
perkotaan maupun daerah perdesaan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai
pemimpin yang memberi perhatian umum terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah.
Ia jarang digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian khusus pada
pembangunan wilayah Barat saja atau wilayah Timur saja.
Hasil
analisis juga menunjukkan, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan
sebagai seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding
pembangunan sektor-sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan
dan pematangan, maupun pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik
pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah
ekonomi. Dari sektor-sektor pembangunan yang pernah dibicarakannya, dua sektor
yang paling sering dibicarakan Presiden Soeharto adalah sektor Hankam, dan
sektor Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi, dan Media Massa. Topik
yang paling jarang dibicarakan pemimpin tersebut adalah topik pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
v Cara mempengaruhi orang lain
Presiden
Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan
gaya kepemimpinan coercive, yang
selalu menginginkan agar perintah dan instruksinya dipatuhi orang lain dengan
segera. Dalam berita surat kabar Presiden
Soeharto cenderung ditampilkan lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan
pembangunan nasional. Demikian pentingnya hal itu sehingga bagian besar
perintah dan instruksi yang disampaikan Presiden Soeharto kepada orang lain
berisi permintaan agar keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional selalu
diprioritaskan.
Selain itu, alasan yang juga sering dijadikan landasan argumentasi Presiden
Soeharto ketika meminta orang lain untuk mematuhi pesan-pesannya adalah
perlunya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, upaya mempertahankan
stabilitas politik, upaya menciptakan masyarakat adil dan makmur, upaya
membangun kehidupan demokrasi, dan upaya lainnya.
Ketika ia meminta orang lain agar mau mematuhi pesan-pesannya, Presiden
Soeharto biasanya memilih kata-kata atau kalimat tertentu. Ia lebih sering
menggunakan kata-kata atau kalimat netral dibanding membujuk (persuasive) atau memerintah (instructive atau coercive). Kesan yang dapat ditimbulkan dari cara menyampaikan
perintah atau instruksi yang demikian adalah bahwa pada akhirnya perintah atau
instruksi Presiden Soeharto diserahkan kepada masing-masing orang untuk
menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi pesan-pesan itu[4][4].
Meskipun demikian, penjelasan yang disampaikan Presiden Soeharto umumnya
hanya berupa penjelasan tentang arti kata / istilah, ungkapan, dan
kalimat-kalimat yang diucapkannya. Ia jarang sekali memberikan penjelasan yang
bersifat mendorong penggunaan logika agar orang lain secara sadar dan sukarela
mau menerima pesan-pesan yang disampaikannya. Kepada orang-orang yang menjadi
sasaran pesan-pesannya, ia jarang memberikan contoh-contoh penerapan pesan,
menjelaskan manfaat apabila pesan itu diikuti, atau menjelaskan akibat apabila
pesan itu tidak diikuti. Tujuan komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto
tampaknya hanya agar orang lain menjadi mengetahui, tetapi tidak sampai pada
taraf memahami, mencoba, dan memutuskan untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu.
v Kepribadian
Menurut
penulis Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana, tidak suka
menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau
menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam
berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang
dimilikinya.
Apabila ia
berusaha menonjolkan diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto
biasanya adalah mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya
kepada bangsa dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada
bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha
menunjukkan jasanya yang besar dalam membela bangsa dan negara Indonesia,
berani melawan musuh-musuh negara baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun
pada masa pemberontakan G30S/PKI, dan keberhasilannya dalam penyelenggaraan
pembangunan nasional.
Ø Keberhasilan dan Kegagalan yang Dihasilkan Dari Gaya kepemimpinan Soeharto
Orde Baru
berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
kepemimpinan mantan Presiden Soeharto telah memberikan berbagaai kemajuan dan
juga kemundurun. Hal ini dikarenakan kebijakan yang beliau ambil tergantung
kepada gaya kepemimpinan yang beliau anut. Kekurangan dan kelebihan dari gaya
kepemimpinan Soeharto yaitu:
B. Keberhasilan yang Dihasilkan Dari
Gaya Kepemimpinan Soeharto
Walaupun terdapat berbagai kekurangan dari
pemerintahan Soeharto tapi tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan
Soeharto Indonesia menjadi salah satu negara kaya dan disegani negara lain.
kelebihan
1.
Kelebihan
sistem Pemerintahan Orde Baru perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada
tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
2.
Kemajuan sektor migas
Puncaknya adalah
penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia.
Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus
sukses pembangunan ekonomi.
Keberhasilan Pak Harto membenahi
bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun
1980-an, menurut Emil Salim, diawali dengan pembenahan di bidang politik.
Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde
Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai
menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.
Gaya kepemimpinan tegas seperti yang
dijalankan Suharto pada masa Orde Baru memang dibutuhkan untuk membenahi
perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960. Namun, dengan
menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan
antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru
kemudian tidak diberi tempat.
3. Swasembada beras
Seperti
pepatah From Zero to Hero itulah kebijakan yang dilakukan oleh HM.
Soeharto pada masa pemerintahannya. Saat itu Indonesia menjadi pengimpor beras
terbesar didunia, namun oleh Soeharto ini dijadikan motivasi untuk menjadikan
Indonesia sebagai lumbung beras dunia. Puncaknya adalah ketika pada 1984
Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau mencapai
swasembada pangan. Prestasi itu membalik kenyataan, dari negara agraria yang
mengimpor beras, kini Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam
negeri. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras
tetapi tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton.
4.
Sukses
transmigrasi
5.
Sukses
Program KB
6.
Sukses
memerangi buta huruf
7.
Sukses
swasembada pangan
8.
Pengangguran
minimum
9.
Sukses
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
10. Sukses
Gerakan Wajib Belajar
11. Sukses
Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
12. Sukses
keamanan dalam negeri
13. Investor
asing mau menanamkan modal di Indonesia.
14. Sukses
menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
C. Kegagalan Dari Gaya Kepemimpinan
Soeharto
v Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde
Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan
luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan
Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966
mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan
PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi
anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah
Indonesia diterima pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari
ketergantungan Indonesia terhadapa modal asing.
Pada tahap
awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan
terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi
kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili
pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan
sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi
nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan
administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan
lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun
dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi
secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer,
khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi
rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena
70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga
melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto
siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan
konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya
stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan
ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital
internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat
kestabilan politik yang tinggi.
v Eksploitasi sumber daya
Selama masa
pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun
tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
v Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
Warga
keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di
bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi
mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan
pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh
komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa
tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang
mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga
ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin
dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan
untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya
surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola
dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa
orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa
dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah
Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak
belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan
perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis.
Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan
keselamatan dirinya.
v Perpecahan bangsa
Di masa Orde Baru pemerintah sangat
mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio
dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa".
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi
dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa,
terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak
negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya
marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk
pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa
program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di
berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik
laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan
konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu
oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber
alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigra
v Semaraknya korupsi, kolusi,
nepotisme
v Pembangunan Indonesia yang tidak
merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian
disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat munculnya
rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama
di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran
yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
v Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan
pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
v Kritik dibungkam dan oposisi
diharamkan kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan
majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara
lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
Tidak ada
rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat dirumuskan adalah gaya kepemimpinan Soeharto secara umum adalah
otoriter, dominan, dan sentralistis . Dari periode ke periode kekuasaan
Presiden Soeharto digambarkan Soeharto sebagai Kepala Negara, sebagai pusat
kekuasaan politik di Indonesia. Perilaku kepemimpinan Presiden Soeharto ada
yang berorientasi pada hubungan, tetapi juga ada yang berorientasi pada tugas.
Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang berorientasi pada hubungan digambarkan
sebagai gaya kepemimpinan yang otoriter, kurang demokratis, mengutamakan
hubungan dengan para menteri dan pejabat di bawahnya, serta fleksibel: dapat
dengan mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan situasi dan kondisi. Gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas direpresentasikan sebagai gaya
kepemimpinan penuh perhatian pada pembangunan dalam lingkup nasional, tidak
membedakan pembangunan daerah perdesaan dan perkotaan meskipun hanya
berorientasi pada pembangunan sektor ekonomi saja. Selain itu, dari caranya
mempengaruhi orang lain, gaya kepemimpinan Presiden Soeharto oleh media juga
digambarkan sebagai gaya yang cenderung otoriter. Meskipun menggunakan
kata-kata atau kalimat netral, tidak bersifat persuasive atau coercice,
dan diikuti dengan penjelasan secukupnya. Sebagai seorang pemimpin, Presiden Soeharto juga digambarkan sebagai
seorang yang tidak suka menonjolkan diri.
Selama 7
periode menjabat sebagai Presiden, banyak keberhasilan dan kegagalan yang
dihasilkan dari gaya kepemimpinan beliau. Berdasarkan pembahasan di atas,
kekurangan darigaya kepemimpinan beliau menghasilkan eksploitasi sumber daya,
diskriminasi terhadap warga Tionghoa, meningkatnya praktik KKN, pembangunan
Indonesia yang tidak merata, dll. Namun, dibalik kekurangan-kekurangan tersebut
masih terdapat kelebihan dari gaya kepemimpinan beliau diantaranya yaitu
perkembangan GDP perkapita Indonesia, kemajuan sektor migas, swasembada beras, dsb.
B.
Saran
Menurut
kelompok kami, gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang dapat dikatakan
otoriter memang sangat cocok pada waktu itu yaitu pada awal pemerintahan
beliau. Yang mana dengan gaya kepemimpinan beliau pembangunan di Indonesia
dapat lebih maju dari pemerintahan sebelumnya. Sangat disayangkan bahwa gaya
kepemimpinan Presiden Soeharto ini sangatlah bertolak belakang dengan sistem
demokrasi yang dianut oleh Indonesia.
Dari uraian di atas, saran yang dapat
kelompok kami berikan untuk gaya kepemimpinan Soeharto adalah :
· Kembali kepada sistem demokrasi yang
ada di Indonesia yang mana setiap warga negara berhak untuk berpartisipasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan
· Tidak berfokus hanya kepada bidang
ekonomi tetapi juga di semua sektor.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Entman, R.M. & A. Rojecki, The Black Image in the White Mind: Media and Race in America,
Chicago: University of Chicago Press, 2000.
Hendel, Tova, Miri Fish & Vered Galon, “Leadership
style and choice of strategy in conflict management among Israeli nurse
managers in general hospitals”, International
Education Journal, Vol. 4 No. 3, 2003, http://www.iej.cjb.net
Kartono, Kartini. ABRI dan Permasalahannya - Pemikiran
Reflektif Peranan ABRI di Era Pembangunan (Bandung: Mandar Maju, 1996).
Kartono, Kartini. Pemimpin
dan Kepemimpinan. Cetakan Kesembilan
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).
Khalili. S. Leadership Style and their Applications in the Iranian Management
System. (Tehran: Iran, 1994), hal. 47.
Lewig, K.A. & M.F. Dollard, “Social construction
of work stress: Australian newsprint media portrayal of stress at work,
1997-98”, Work & Stress, 2001,
vol. 15, No. 2, hal. 179-190.
McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa, Edisi Kedua
(Jakarta: Erlangga, 1996).
Ministry of Health of New Zealand, Suicide and the Media – The reporting and
portrayal of suicide in the media. 1999. http://www.moh.govt.nz
Pingree, S., R. Hawkins, M. Butler & W. Paisley,
“A scale of sexism”, Journal of
Communication, 24, hal. 193-200; R. Kolbe & P. Albanese, “Man to man: a
content analysis of sole-male images in male audience magazines”, Journal of Advertising, 25 (4), hal.
1-20.
Rasidi, Zaim. Soeharto Menjaring Matahari ( Bandung: Mizan, 1998).
Web
Tidak ada komentar:
Posting Komentar